APRESIASI CERPEN
GAGAK SIAL
Soni Farid Maulana
AKU pindah rumah, ternyata gagak sialan itu mengikuti aku. Ia selalu
berkoak-koak bila tengah malam tiba. Kesal dengan itu, aku pinjam bedil mimis
pada sahabatku. Nah, ketika berkoak-koak lagi di atas genting rumahku, segera
aku bidik. Alhamdulillah kena, dan gagak itu pun terjungkal ke bawah. Aku ambil
bangkainya sebelum dimakan si meong, lalu aku bakar. Setelah itu, aku buang ke
Sungai Nagawiru.
SEJAK itu rasa sakit di tubuhku mulai hilang. Sebelum rasa sakit
hilang, aku muntah darah disertai beberapa biji paku kecil. Aku kaget dengan
semua itu. Sahabatku yang tahu atas kejadian aneh yang menimpa
diriku—segera—menghubungi orang pintar. “Teluhnya telah kau gagalkan dengan
menembak burung gagak itu. Bersabarlah, Allah swt akan membalasmu dengan
segalanya kebaikan,” ujar orang pintar.
Atas kejadian tersebut aku lama termenung. Apa salahku selama ini,
kok orang itu main teluh seenak udel? Apakah ia mengira dirinya orang suci?
Jika melakukan kezaliman terhadap orang lain, apa artinya sebutan orang suci
bagi dirinya? Sungguh aku tak habis pikir dengan semua itu, juga dengan
sepasukan orang-orang yang disuruhnya membenci keluargaku, dan menggibah
keluargaku di mana-mana.
Benar kata Rasulullah saw, orang yang bangkrut di hari akhir adalah
orang yang menumpuk kebaikan, tapi semua itu habis dikuras oleh segala
kezaliman yang dilakukannya terhadap orang lain. “Itulah orang yang merugi,”
ujar Ustad Abdul Somad dalam sebuah pengajian, yang aku dengar melalui jejaring
sosial.
“Mari aku periksa tubuhmu,” kata orang pintar. Lalu aku mendekat
kepada dirinya. Diraba dan dibacakan doa setiap inci tubuhku. Hasilnya
tiba-tiba terasa ada yang keluar dari kepalaku. Sakitnya bukan main. Aku
seperti diserang vertigo. “Alhamdulillah, sudah kabur setan yang diperintahkan
majikannya yang mengganggu dirimu. Ia akan merasakan akibatnya,” ujar orang
pintar. Dan aku menganggukkan kepalaku.
Malam semakin larut dan tua. Desir angin dari ranting ke ranting
pohonan terdengar nyaring di luar jendela. Terdengar suara si meong mengerang
di atas tembok, dengan erangan yang panjang. “Apa yang terjadi dengan si
meong?” batinku. “Insya Allah sejak hari ini gangguan mistik itu hilang.
Teruslah berzikir dan minta perlindungan kepada Allah swt,” tutur orang pintar,
menasihatiku.
***
APA yang aku alami itu sungguh di luar akal sehat. Hari-hari yang
aku tempuh sebelumnya terasa berat, dan bahkan enggan melakukan apa-apa.
Rupanya si zalim itu, selain ingin menghabisi nyawaku, terlebih dahulu ingin
melumpuhkan segala keinginanku. Baik keinginan mencari nafkah untuk keluarga,
maupun keinginan jalan-jalan ke luar rumah.
“Sungguh bajingan apa yang dia perbuat selama ini. Apa yang akan dia
jawab bila kelak Allah swt memintai pertanggungjawaban kepada dia, si zalim?”
batinku bertanya.
Ah ya, aku ingat. Pada malam itu, ada seekor ular hitam yang masuk
halaman rumahku. Untungnya ular itu ditemukan oleh si meong berbulu hitam, yang
aku besarkan sejak kecil. Aku menyaksikan perkelahian antara ular hitam dan si
meong. Akhirnya si meong menang, dan tubuh ular itu sebagian dimakannya.
Sisanya aku buang ke Sungai Nagawiru.
Aneh, dari mana ular itu datang? Dari Sungai Nagawiru? Semua pinggir
sungai itu berdinding batu yang licin oleh semen. Jadi sangat mustahil ular itu
bisa manjat, kecuali jika ada pohonan. Sejak itu aku semakin menyayangi Si
Hitam, meong yang telah menyelamatkan jiwa dan ragaku dari gigitan ular hitam.
Sayangnya, si meong mati sudah. Di tubuhnya banyak luka, semacam
digebug oleh benda tajam dan runcing. Mayat Si Meong ditemukan oleh penjaga
sekolah yang dekat rumahku, dan dia bilang sudah dikuburkan di halaman belakang
sekolah tersebut.
***
PADA malam yang lain, aku mimpi bertemu dengan orang yang menzalimi
diriku dan keluargaku selama ini. Wajahnya kusut, tubuh dan pakaiannya kumal.
Tangisnya mengguncang dinding kota. Dan ia berlalu begitu saja dari hadapanku.
Aku tidak tahu, apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Bila ia sudah mati,
apakah ia sekarat dengan kesakitan yang sangat? Aku tidak tahu.
Seperti biasa pada tengah malam seperti ini—aku—selalu bangun, untuk
membaca ulang apa yang aku tulis. Tentu saja semua itu aku lakukan setelah
mendirikan salat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara
memanggilku dari balik pintu. Ketika aku buka, tak ada siapa-siapa di luar
sana. Suara itu tidak aku kenal. Apakah ini suara teluh yang lain?
Jika memang aku harus mati oleh teluh oleh kezalimannya, aku yakin
tempatku kelak bukan di neraka sana. Tapi di surga. Dosa-dosaku kelak akan
dilahap dengan rakusnya oleh si zalim. Sesaat kemudian, tak terasa, waktu
bergulir dengan amat cepatnya. Tiba-tiba saja aku mendengar suara orang
melantunkan tahrim dari sebuah surau yang jauh.
Suara tahrim yang lembut dan syahdu itu, mengingatkan aku pada suara
tahrim yang pemah aku dengar di Mekah dan Madinah sana. Betapa aku ingin
kembali datang ke sana, ingin membaringkan jiwa dan ragaku yang lelah. Ingin
kembali meneguk air zamzam yang menyegarkan jiwa dan ragaku.
Dan kini, di sini. Di ruang tempat kerjaku, aku kembali membaca
sejumlah tulisan lamaku. Aku temukan sejumlah catatan lama tentang burung gagak
yang koaknya aku dengar di Paris, juga di Kuala Lumpur. Di Paris, aku dengar
koak gagak di atas kuburan penyair Charles Baudelaire. Di Kuala Lumpur aku
dengar di atas kota. Aku yakin itu bukan gagak mistik, seperti yang pernah aku
bunuh di atas genting rumahku.
Gagak memang lambang mistik dan kematian, lambang negeri kelam yang
disukai orang hitam berhati arang. Sekelam bahkan sehitam hati si zalim, yang
berupaya membunuhku dengan teluhnya itu. Ya, membunuh orang dengan teluh adalah
perbuatan keji, yang jejaknya tak terlihat oleh orang lain, kecuali oleh orang
yang berilmu. Mereka tahu, dari siapa teluh itu dikirim. Bahkan di antara
mereka ada yang bisa mengembalikan teluh itu dan membunuh tukang teluh itu.
Ingat akan hal itu, ingin sekali aku balas dendam membunuh si zalim.
Tapi sejumlah ulama melarang aku untuk melakukan perbuatan yang biadab itu.
“Allah tidak diam, anakku. Ia akan membalas segala perbuatan orang zalim itu,
termasuk kepada mereka yang suka gibah. Bersihkan hatimu dengan zikir dan
istigfar. Itu lebih baik dan disukai oleh Allah swt,” jelas Kiai Sepuh pada
sebuah malam, saat kuberkunjung ke rumahnya di Sukaraja, sana.
Astagfirullah, kok ada ya di muka bumi orang sekeji itu? Kok ada
orang yang katanya pewaris ilmu Nabi tapi melakukan perbuatan terkutuk. “Orang
semacam ini telah menduakan Tuhan. Jelas itu perbuatan dosa besar yang sulit
diampuni. Astagfirullah, jangan sampai kita terlibat dalam perbuatan tercela
semacam itu,” lanjut Kiai Sepuh.
Dan malam kian larut dan tua. Desir angin saya dengar menggeser
ranting pohonan di luar jendela sana. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar